Sunday, July 13, 2008

Gakko e Ikimasu!!*

Sekolah.
Betapa kata itu adalah kata yang paling dihindari seorang pelajar yang sedang asyik-asyiknya menikmati liburannya.
Yang, omong-omong, bukan aku, yah, karena kisah liburanku adalah kisah tergaring dalam sejarah liburan dunia.

Meskipun begitu!

Meski liburanku benar-benar nggak asyik dan melelahkan karena menjalani kehidupan ganda sebagai kalong sekaligus manusia, tetap saja aku benar-benar merasa kehilangan saat liburan ini berakhir.

Rasa kehilangan ini cukup beralasan yah, mengingat apa yang kusebutkan dalam beberapa posting sebelumnya bahwa aku sekarang kelas XII dan nggak akan bisa bersantai—benar-benar bersantai.
Dan ada satu hal yang lebih mengejutkan sekaligus tragis, melebihi keadaan kamarku sekarang: kelasku nggak akan berubah.
Dan itu hanya berarti satu hal: sekelas lagi dengan si Cemen.

Dam-daradam-jeng-jeng-jreng.

Kehidupan kelas XII sudah cukup melelahkan, apalagi dengan si Cemen berada di sekitar.
Ini bakalan benar-benar melelahkan.

Kalau dipikir-pikir dengan otak jernih tanpa dominasi Toma didalamnya, sebenarnya nggak ada efek langsungnya sih, si Cemen ada di kelas yang sama lagi denganku.
Dia toh jarang sekali menggangguku atau sesuatu semacam itu, kecuali kalau dia satu kelompok denganku dan mengadakan kerja kelompok di rumahnya (seperti kejadian nyata beberapa waktu yang lampau), maka itu baru masalah.
Hanya saja efek nggak langsungnya sangat banyak dan buruk.
Ambil satu: tiada hari tanpa ngomongin dia.
Hari-hari sekolahku yang tersisa dan seharusnya dijalani dengan serius demi menggapai impian yang setinggi langit, akan berubah menjadi hari-hari reinkarnasi ibu-ibu penggosip dengan topik gosipan yang tidak akan berubah sepanjang masa.
Dia. Dia dan kejelekannya. Dia dan keburukannya. Dia dan sisi tidak baiknya. Dia dan seribu satu macam hal yang tidak kusukai darinya.

Maka aku ingin membuat sebuah resolusi tahun ajaran baru, cukup satu, sederhana, dan masuk akal, meski untuk mewujudkannya butuh kerja keras melebihi budak-budak pembangun piramid di Mesir.
Aku tidak akan membicarakannya.
Mungkin masih iya, tapi tidak akan setiap jam, setiap hari, sepanjang tahun.


Sejujurnya aku tidak benar-benar siap menghadapi hari-hari sekolah nanti.
Bukan siap secara fisik misalnya baju, tas, sepatu, atau lain-lain yang baru. Melainkan... apa ya, sebuah kesiapan pribadi.
Aku punya sebuah mimpi besar, yang mungkin memang tidak masuk akal, tapi sebisa mungkin aku ingin mewujudkannya dengan seluruh kemampuanku. Tidak perlu kusebutkan apa.
Kehidupan sekolah yang tersisa inilah yang akan menentukan mimpi itu adalah sekedar khayalan ataukah kenyataan.
Dan aku tidak mempersiapkan apapun. Apapun.

Kalau secara fisik sih, aku punya brand new look.
Hohoho, rambutku dipangkas habis seperti tentara AKABRI.
Bercanda.
Pasrah akan apa yang diputuskan Mbak-Mbak salonnya terhadap apa yang terjadi dengan model rambutku, well, akhirnya terjadi juga.
Rambutku jadi pendek. (yang notabene bukan masalah besar karena biasanya rambutku memang pendek.)

Kata Mbak-nya sih, ini model rambutnya BunCit alias BCL alias Bunga Citra Lestari.
Sayangnya ikon itu terlalu berat untukku.
Nggak ada mirip-miripnya dengan BunCit, aku malah mendadak menjelma menjadi Maruko dari anime Chibi Maruko-chan.
Dengan catatan, Maruko versi enam belas tahun, dan yang pasti, sudah nggak imut lagi.


Yah, mau bagaimanapun, meski menghindar seperti apapun, toh hari esok akan datang juga.
Siap tak siap itu resiko.

Selamat datang dunia SMA... jangan mengkhianatiku.









*Gakko e ikimasu!! = pergi ke sekolah!!
Sebenarnya entah frasa ini benar atau tidak penulis tidak tahu, karena sudah sekian lama penulis tidak ikutan kelas Jepang lagi.
Bagi yang mengetahui frasa yang benar dari versi ini, harap menghubungi penulis bernama Mikochin di cat_jump_up@yahoo.com.
Tidak tersedia imbalan, hanya ucapan terima kasih yang tulus dari hati penulis yang putih suci.

Tuesday, July 08, 2008

Happy Three Friends

Aku bukannya mau ngomongin tupai-tupai lucu sadis (klik untuk lihat videonya), itu mah Happy Tree Friends, tapi ini tentang aku. Jelas ya, ini kan blogku.

Beberapa hari yang lalu aku jalan sama dua sohib lamaku, Lia dan Denata.
Dari pertemuan singkat sarat tawa tersebut, aku bisa mengambil sebuah kesimpulan: Jalan sama Lia dan Denata berarti membuang jauh-jauh apa yang disebut dengan ‘jaim’.

Waktu itu aku pernah menulis tentang ditegur om-om penjaga Gramedia gara-gara numpang baca sambil duduk di lantai.
Itu baru sama Lia. Kali ini ditambah Denata.

Seperti lumpang dan alunya, mereka bersatu padu demi melakukan hal-hal yang bakal dihindari lihat oleh ibu-ibu hamil.
Maka aku, terjepit di tengah, terbawa arus deras yang akan membawaku terjun ke jurang Niagara.

Okeh, tadi itu hiperbola. Mari kuceritakan yang sebenarnya.

Petualanganku dimulai sejak aku melangkahkan kaki di halaman parkir mal. Sendirian.
Kami janji pukul satu siang dan saat itu lewat dua puluh dua menit dari waktu yang seharusnya.
Aku sama sekali tidak merasa bersalah. Toh mereka hampir dapat dipastikan datang lebih telat daripadaku.

Dan benar saja, saat aku sampai di depan pintu masuk, tak kulihat tanda-tanda keberadaan mereka.
Rasanya beberapa ibu-ibu, mbak-mbak, dan om-om sempat memandangku aneh.
Mungkin karena seorang cewek datang sendirian ke mal dan sebelah mata cewek itu tertutup poni sehingga tampak seperti Sadako.
Yah, poni panjang ditambah wajah tanpa ekspresi ini memang ampuh sekali untuk membuat beberapa teman (kira-kira, mm, delapan belas orang) mengataiku seram atau bahkan hantu.

Mengatasi rasa malu karena dipandangi (sayangnya bukan oleh Toma) dan daripada lebih malu lagi karena menunggu di depan pintu seperti pembagi kupon FunStation, aku pun melangkah pasti ke dalam dan menuju toilet wanita.
Sayangnya di toilet lebih buruk.
Karena aku berdiri di dekat pintu toilet, maka setiap orang yang baru masuk akan melakukan ritual memandangku beberapa jenak, barulah menghampiri wastafel atau mencari toilet mana yang kosong.
Aku memperkuat keberadaan diriku sebagai botol karbol raksasa dengan mulai menelepon Lia dan Denata yang tak kunjung datang.

Teleponku tak diangkat.
Aku mencoba berpikir positif bahwa mereka mungkin masih di jalan, bukannya ketiduran dan baru akan berangkat dua setengah jam kemudian.
Dua-tiga kali mencoba, akhirnya berhasil. Denata sudah sampai.
Aku menemukannya di depan pintu, menggenggam kupon “Gratis 1 (satu) Koin di Funstation”.
“Lia mana?” tanya Denata dengan aksen Melayu yang kusensor paksa.
“Belum datang.”
“Tunggu di luar aja, biar gampang nyariin dia. Kali aja dapat kupon ini,” ia mengangkat kupon FunStation-nya, “lagi.”
Maka kami pun menunggu di luar.
Beberapa menit berlalu, dan Lia tak juga datang.
Denata berkata pengin ke toilet dan kami pun masuk lagi ke dalam.
Dan tak lupa, om-om pembagi kupon menyodorkan kupon FunStation ke Denata. Lagi. Dia dapat dua kali.
Padahal aku dapat satu saja enggak. Sungguh suatu penghinaan terhadap wanita berwajah seram.

Akhirnya Lia datang dan angin membawa kami melangkah ke Gramedia.
Saat pede melangkah meski tahu nggak bakal beli, Lia dikejar petugas.
“Mbak, tas-nya musti dititipin.”
Maka Lia dengan bengis menunjuk tas milik Mama dengan wajah penuh kedengkian.
Tasku tak perlu dititipkan.

Setelah capek keliling dan mempermalukan diri (Denata terang-terangan bilang, “Liat-liat jak, tak usah beli,” tepat saat melewati seorang pramuniaga. Bagus, baguss, sekali) kami memutuskan untuk minum karena haus sekali.

Masalah kembali datang.
Karena kami termasuk makhluk super ultra medit yang pernah hidup di dunia, kami pun bingung mau minum di mana karena ini mal, dan semua sarana minum di sini—kecuali keran toilet—memiliki daftar menu yang membuat otak medit kami berontak.
Solusinya: beli minuman di Hypermart, terus di minum sambil jalan.
Sebenarnya aku menolak ide ini, tapi karena kalah suara, maka terpaksalah ikut.

Setelah puas belanja dan ngetawain bencong, kami pun mencari tempat duduk.
Terjadi perebutan psikologis kursi yang seru antara kami dan seorang bapak-bapak solo karir, dan akhirnya dimenangkan oleh kami, mungkin si bapak terintimidasi.

Lalu demi mengabadikan kesempatan jalan bersama yang jarang sekali datang ini, maka kami pun bermaksud membeli oleh-oleh barang yang sama untuk kami bertiga di toko aksesoris cewek.
Di toko mah hampir sejam, ngomentarin barang-barang yang ada.
Entah mahal lah, norak lah, apa lah, pokoknya komen.
Dan akhirnya cuma beli pin kayu bentuk kepala panda yang harganya nggak sampe lima ribu rupiah.
Itu juga buru-buru belinya gara-gara dipandangin terus sama salah satu penjaga toko, risih kali dia, abisnya kita ribut banget dan ngacak-ngacak barang jualan.

Setelah itu sempat numpang duduk di toko sepatu (bayangkan, numpang duduk!), barulah kami keluar dari mal.
Karena laper, motor pun melaju ke Digulis.

Otak medit kembali beraksi saat memesan makanan.

Diskusi sebelum mencatat pesanan

(Ket: A=Aku, D=Denata, L=Lia)

A: Pesan apa nih? Aku sih nasi goreng telor yah, abis yang paling murah.
D: Paling murah? Okeh, aku pesan itu juga.
L: Tunggu, ini ada yang lebih murah, nih.. “Indomie Goreng Tante”! Rp 4000 aja!
D: Eh, iya... Tapi masa indomie lagi. Pake tante lagi. Aku nasi goreng aja lah.
L: Ya udah, aku juga kalo gitu.
A: Minumnya apaan? (ngeliat menu)
D: Yee, sok-sok ngeliat menu. Paling-paling pesennya teh es.
A: Iya juga, sih. Udahlah teh es aja.
L: Entar, ini ada yang bagus ni, murah lagi.
A&D: Apa? Mana? (ngeliat menu)
L: Rp 500, AIR PUTIH ES

Dan akhirnya kami bener-bener pesen itu.
Air putih es.




Oh iya, aku menemukan jawaban tentang template blogku yang warnanya putih-merah ini.
Dulu aku mikir, kenapa putih-merah? Aku nggak terlalu suka putih, apalagi merah.
Lalu aku tersentak.
Blog ini namanya Kandang Mikochin.
Mikochin.
Miko.
Seperti yang kubilang, miko adalah gadis penjaga kuil jinja.
Dan tebak apa warna pakaiannya.
Putih-merah.

Apakah ini... Jangan-jangan ini..., ooooh, takdir???