Wednesday, April 30, 2008

Story About Stories

Tragedi si cewek menyebalkan (yang dalam konteks ini kita singkat dengan sebutan Si Cemen) terjadi. Rahasia kelas tentang betapa kami membencinya akhirnya terkuak melalui mulut seorang gadis manis anggota BipBip bernama Arlia.
Dia menangis... menangis! Aku agak miris melihatnya, karena, yah, aku emang nggak tega kalau seorang cewek sampe nangis, Si Cemen sekalipun (sok gentle, padahal cewek). Tapi aku juga nggak akan nepuk-nepuk bahunya menenangkan, tetapi cuma memandang dari jauh saja. Karena, yah, bagaimanapun dia itu Si Cemen. Aku pernah bilang bahwa aku membencinya, dan itu berlangsung sampai detik ini.
Tetapi hari ini dia kembali seperti biasa, seakan kemarin tak terjadi apapun, tidak ada seorangpun yang sesenggukan sambil menelungkupkan wajah di meja, atau muntah-muntah. Hanya saja aku tahu dia agak menjaga jarak kali ini... atau tidak? Entahlah. Bersyukur karena gara-gara rolling bangku, minggu ini aku ditempatkan jauh dari bangkunya.

Oke, kita beranjak dari topik tentang Si Cemen.
Aku ingin menulis tentang sebuah potongan kisah dari masa lampau (okeh, sebenarnya cuma setahun yang lalu, waktu kelas sepuluh). Ini cuma kejadian singkat yang super nggak penting, yang kualami bersama Endah.
Haah, kalau aku menulis ini, aku jadi kangen sama Endah dan saat-saat kami menghabiskan waktu bersama, juga hal-hal bodoh yang kami lakukan. Suatu hal yang hampir tidak mungkin terjadi akhir-akhir ini, karena aku dan Endah sekarang nggak seakrab dulu. Belum lagi les-les super pencapek yang nggak bisa ditinggal untuk sekedar jalan-jalan. (Well, ini boong banget mengingat sekarang aku lagi bolos les fisika, dan besok libur)

Saat itu lagi musim-musimnya es teler pinggir jalan, jadi aku dan Endah, yang sama-sama berotak konsumtif, menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan nongkrong di warung es teler dekat komplek Mujahidin. Namanya Es Teler Ciuman.
Mm, mungkin terdengar agak vulgar yah, sebab itu nama emang bukan tukang jualnya yang ngasih, tetapi aku yang seenak perut menyebutnya begitu. Ada sejarah sendiri bagaimana warung es teler pinggiran tersebut bisa disebut begitu, tetapi aku nggak akan menceritakannya di sini, karena cuma bakal bikin garing aja.
Lalu sambil meminum es teler pesanan, kami bercerita kesana kemari, mulai dari gosip sampe hal-hal bodoh yang pernah kami lakukan. Tertawa sekeras-kerasnya, sampai ngebikin orang-orang menoleh sebel. Akhirnya tanpa terasa es teler di mangkuk kami habis, dan sudah saatnya untuk pulang.
Aku pun mengantar Endah dengan selamat ke rumahnya (dengan manuver-manuver oke bersama si mobek), dan aku juga kembali ke my home sweet home.
Sesampainya di rumah, aku teringat sesuatu yang bodoh. Sangat bodoh.
Aku langsung menyambar hape dan memencet nomor Endah di telepon rumah (pelit pulsa).
Tut... tut... Sedang tersambung.
Klek, telepon diangkat.
Percakapan berikut ditulis dengan bahasa Indonesia, bukannya Melayu seperti kejadian sebenarnya.
"Halo, Endah?" ucapku cepat.
"Ya, ada apaan, Des?" tanyanya.
"Kamu lagi ada urusan nggak sekarang? Bisa minta tolong, nggak?"
"Nggak, sih. Emang ada apa, nih?"
"Anuu, kamu bisa balik ke Es Teler Ciuman lagi nggak, sekarang?" tanyaku agak tergeragap.
"Ha? Apaan, sih?"
Susah sekali menahan tawa untuk nggak pecah berderai. "Mmm, tadi... mmm, es teler..."
Endah diam menunggu lanjutan kata-kataku.
Dengan susah payah dan terbata, aku pun melanjutkan, "Anuu, selesai minum es teler, kita... kita belum bayar."

Saturday, April 26, 2008

Celebrating Something

Hari ini hari yang ditunggu-tunggu, seperti yang kutulis di posting sebelumnya, Perayaan Kartini di sekolah! Uhuhuhu, dan lomba Kartini-Kartono (yang kuhina-hina kemaren) itu tentu saja.
Aku berangkat ke sekolah dengan kebaya pink yang Mama belikan beberapa hari yang lalu dan celana kain hitam milik Mama. Tak lupa berbekal rok yang dibuat menyerupai bawahan kebaya dalam tas. Oh, ya, omong-omong aku ini sering sekali memakai barang-barang Mama-handed alias bekas Mama. Ya, misalnya celana itu atau bawahan kebaya itu. Belum lagi tas Mama yang kupakai buat pergi-pergi. Emang jelek kalau kita bilang 'bekas-Mama' (lagipula aku cuma minjem) tapi mungkin agak terdengar lebih keren kalau seperti yang kubilang yaitu 'Mama-handed'. Yah, English-English gimanaa gitu.

Aku menjalani hari ini tanpa anggota bipbip kecuali Arlia. Echa pergi ke Medan, Arta dan Asutarin Sistaponik, Febi dan Ovie ngurusin acara sebagai Panitia OSIS.
Sebenarnya ada tugas juga dari Snapycation buat ngeliput dan ngewawancarain pemenang di lomba surat kartini dan lomba masak mie goreng, tapi, ya ampun, males banget atuh. Aku emang suka nulis, makanya di Snapy tugasku jadi writer, dan jelas-jelas bukan wartawan karena aku sumpah nggak berbakat di bidang yang mengandalkan hubungan sosial macam wartawan ini. Aku nggak bisa mewawancarai satu orangpun kalau mau tahu.

Apa yang ingin kurangkum dari perayaan ini dan kutulis di sini?
Hmm, nggak tau. Mungkin nggak ada.
Kalaupun ada aku akan menuangkannya dalam artikel buat Snapy yang harus kutulis nanti, minus wawancara.

Friday, April 25, 2008

Liburan Berakhir... Mari Ber-Kartini Ria!

Liburan usai begitu saja, cepat sekali, seperti Shinkansen yang membawaku ke Kyoto waktu itu. (Boong banget, lagian emangnya Kyoto bisa ditempuh dengan Shinkansen?)
Yah, meski hari-hari liburku nggak bermakna (cuma baca ampe mual, nonton, main minesweeper, dan irc: main games di salah satu channel dengan nick "kuroyuri"), tapi dibandingkan hari-hari melelahkan penuh derita di sekolah? Tentu aku pilih liburan nggak bermakna.
Dan coba tebak apa yang menyambutku begitu sampai di gubuk derita itu?
Pembagian nilai mid kimia dan fisika!
Ha, cukuplah untuk membuatku muntah darah. Nilainya butut banget, meski ga remidi, tapi bener-bener deh, kayak vespa tetanggaku yang bobrok sangat tapi setengah mampus di modif.
Lalu, perayaan kartini!
Hohoho, itu berarti kebaya dan sanggul dimana-mana.
Padahal kalau dipikir-pikir, ya ampun, kartini ya kartini. Yang musti kita kagumi adalah cara pikir dan perjuangannya terhadap kaum perempuan, bukan sanggul dan kebayanya, aduh.
Lagian ini Pontianak lho, yang mayoritasnya penduduk Melayu (mm, ga juga kayaknya), kenapa kita harus repot berpura-pura menjadi gadis Jawa?
Dan yang paling konyol adalah lomba Kartini Kartono.
Lomba Kartini, ya, okelah, karena yang dinilai bukan cuma kebaya dan sanggulnya aja. Ini melatih buat siapapun pesertanya yang mungkin suatu saat ikut Pemilihan Putri Indonesia (siapa tahu).
Tapi KARTONO??
Ada apa dengan Kartono, ha, saudara-saudara?
Siapa dia? Cuma nama yang berima sama dengan Kartini dengan huruf 'i' diganti dengan 'o'.
Kenapa harus berlomba menjadi karakter fiktif dengan nama kampungan itu?
Kenapa nggak Lomba Kartini-Einstein, Kartini-Soekarno, Kartini-Toma, atau sesuatu seperti itu, dibandingkan Kartini-Kartono??
Mungkin Kartini-Einstein, Kartini-Soekarno, terutama Kartini-Toma, memang nggak matching dan tentu saja di luar konteks, tapi kalau boleh jujur Kartini-Kartono benar-benar konyol. Bagiku.
Memang susah untuk keluar dari sistem yang sudah mendarah daging.
Lagipula, aku nggak berniat untuk memberontak. Tulisan ini kubuat cuma pengisi waktu senggang, dan bukannya ide awal dari demo pemboikotan "Kartono" atau hal-hal semacam itu.
Dan juga... jujur, aku cukup menikmati Lomba Kartini-Kartono yang ada disekolah.

Terutama jika "dia" yang jadi Kartininya.

Tuesday, April 22, 2008

Kesalahan Fatal

Waktu kubilang aku nggak bakalan bosan dirumah gara-gara adanya 9 novel jarahan dari rumah Raisa, maka sebenarnya saat itu aku salah besar.
Aku nggak memperhitungkan sebuah kemungkinan.
Kalau aku bakal... mual.
Sembilan novel, ditumpuk setinggi betis, melihatnya saja sudah mual. Kemarin aku hampir saja muntah karena menyelesaikan sebuah novel Agatha Christie berjudul Endless Night.
Sebenarnya aku sudah muak dari hari-hari sebelumnya, dimana aku membaca novel-novel metropop macam Cinta Paket Hemat dan Tarothalia. Pas CiPaHe sih belum akut, tapi pas Tarothalia, ya ampun, rasanya kepalaku diisi batu.

Mm, kurasa masalah sebenarnya nggak cuma karena buku bacaan yang segambreng, melainkan aktivitas menontonku yang kelewat batas.
Gimana yah, tiga empat jam menonton mungkin akan membuat kita pusing, coba bayangkan kalau itu terjadi setiap hari.
Ternyata liburan nggak boleh diisi oleh baca atau nonton melulu aja. Mesti melakukan hal-hal lain yang membutuhkan pergerakan fisik yang lebih dari sekedar membalik kertas atau menekan tombol forward.

Karena itu!
Aku seharusnya jalan-jalan entah kemana, Tokyo atau Paris atau Venesia (ngayal banget).
Ya, meski ke Tokyo atau Paris nggak masuk akal, memang setidaknya aku harus ke Venesia, eh bukan, aku harus pergi ke suatu tempat yang menyegarkan otak, mengganti jenis oksigen yang kuhirup.

Berenang seperti yang direncanakan Arta terdengar menyenangkan, aku pun memang berniat ikut, hanya saja hari yang Arta dan Febi tentukan untuk pergi bersamaan dengan berenangnya teman-teman sekelasku. Cowok. Oke, aku menyerah.

Shopping ke secret heaven sama Asutarin juga kedengaran seru, andai saja aku punya uang buat belanja juga.

Ke Animenakama buat minjem Bleach yang tercinta? Itu usul yang bagus, sangat bagus karena kalau komik nggak akan terlalu membuat mual. Tapi resiko komik dibakar oleh Mama sangat besar persentasenya jika aku meminjam sepuluh komik sekaligus, sehingga aku hanya bisa meminjam beberapa buah komik saja. Dan itu nggak bikin seneng.

Yah, sepertinya membaca dan menonton adalah nafas hidupku.
Peduli amat dengan mual, muntah aja sekalian.
Liburanku hanya untuk dua hal itu.

Monday, April 21, 2008

Dorama All The Way

Sebenarnya ini juga bukan dorama baru keluar atau baru dibuat musim ini. Hanya saja aku baru menontonnya dan, yah, itulah isi otakku sekarang.
Judulnya "Yukan Club". Hahaha, aku bahkan nggak tau apa artinya 'yukan'. Tapi menurut daya observasiku yang cukup tinggi ini, yukan club artinya klub orang-orang kurang kerjaan.
Mm, mungkin terdengar kurang bermutu. Nanti deh aku cari terjemahannya.
Inti dorama ini menceritakan tentang 6 orang murid St. President Gakuen, sekolah kaum borjuis. Dan 6 orang yang nyeleneh ini sering sekali--sesuai nama klubnya--merasa bosan.
Hanya itu yang bisa kuceritakan, karena aku tahu aku kurang pandai membuat ringkasan sesuatu yang kusukai, aku takut membuatnya terlihat buruk.
Bagi temen-temenku yang baru-baru ini kecanduan hana kimi dan tiba-tiba jadi suka dorama akan kupromosikan dorama ini pada kalieun. Yang kutakutkan hanya satu: mereka akan membandin-bandingkan dorama ini dengan hana kimi.
Ya ampun, hana kimi dan yukan club adalah dua dorama dengan genre yang sangat berbeda (bagiku). Hanakimi itu komedi romantis, sedangkan yukan club, mm.. apa ya, aku nggak bisa menentukannya. Tapi intinya ini cerita tentang persahabatan. Yah, meski mereka juga jatuh cinta, sih.
Satu lagi perbedaan mendasar dan sangat mencolok.
Mungkin di hanakimi kita akan memanjakan mata dengan melihat cowok-cowok cakep terutama Nakatsu alias Toma alias MyLove, tapi jangan harap temukan itu di Yukan Club.
Bukannya pemain Yukan Club jelek-jelek banget sih, hanya saja, aduh, dibandingin sama Nakatsu alias Toma alias MyLove, mereka hanya terlihat seperti bebek. Ah, kuharap hanya mataku saja yang begitu, karena aku nggak mau mendengar hinaan tentang Yukan Club. Tidak, tidak, aku tak rela.
Lagipula karena karakter yang mereka mainkan cukup keren, jadi mungkin kita tidak akan mempermasalahkan tampang mereka. Mungkin.

Ah, ya. Omong-omong karena aku sudah menyelesaikan menonton Yukan Club, berarti acara liburanku akan berkurang.
Tapi, itu kalau aku nggak datang ke rumah Raisa kemaren. Sayangnya aku datang.
Dan menjarah 9 novel Raisa sebagai oleh-oleh untuk kubawa pulang.
Aku nggak akan sempat menganggur, percayalah.


Jadi... apa yang akan kulakukan sekarang? Baca buku? Kepalaku pusing banget. Sebelum nonton Yukan Club aku nyelesein baca Endless Night-nya Agatha Christie.
Ah, aku tahu apa.
Ini akan berhubungan dengan Yukan Club.

Ayo menjelajah... dunia maya.

Saturday, April 19, 2008

Holiday, Hip-Hip Hura!

Deng deng deng deng.....!!!!!!
Libur-libur-libur-libur!!

Yup, libur adalah kata paling dicari dalam kamus remaja SMA, terutama SMA Negeri 1, terutama anak kelas XI IPA 1, terutama murid cewek, terutama aku.
Dan jangan sekali-kali berharap liburan ini bakalan jadi liburan garing. Liburan ini nggak bakalan garing! Karena kau tahu apa, aku udah nyewa Yukan Club! Thanks buat Hilda atas jerih payahnya...
Lalu, aku udah bikin proyek besar mengenai novel terbaruku yang berjudul Time Capsule.
Ada juga novel Metropop berjudul Tarothalia karangan Tria Barmawi yang belum kubaca selesai.
Aku juga nggak perlu rebutan PS sama Dedek, dia kan nggak libur.
Trus, Arta ngajakin berenang.
Asutarin ngajakin shopping di 'secret heaven'.
Dan lainnya... dan lainnya... lainnya....
Kalau toh itu semua gagal, aku tinggal ngabur ke Animenakama, minjem komik banyak-banyak...

Ha! Dengan membayangkannya saja aku sudah begitu bahagia. Tinggal beli popcorn untuk melengkapi itu semua (ga nyambung).

Selain itu, kalau libur aku nggak perlu bertemu muka dengannya. Ya, dia. Cewek yang di-nggak-sukai oleh semua orang itu. Hidup jadi lebih bebas, lepas... Oksigen yang kuhirup bakal lebih bersih dari biasanya.

Sayangnya hari ini kepalaku pusing, berat banget rasanya. Otot di sambungan antara leher dan bahuku juga rasanya sakit banget.
Rencana libur itu untuk besok-besok saja.
Yang paling kubutuhkan sekarang hanya satu: tidur.
Istirahat yang cukup.
Lalu aku akan bersemangat menghadapi hari-hari liburku yang menyenangkan esok harinya.

Wednesday, April 16, 2008

Aku Masih Tetap Seperti yang Dulu

Masih ingat dengan program BS milikku? Benkyo Shimasho... belajar rutin sebelum ulangan untuk mendapat nilai maksimal. Lihat apa yang terjadi pada diriku. Em, seperti biasa, bukannya BS, malahan tetap dengan tradisi lama; sistem kebut semalam.
Semalam di sini dalam artian sebenarnya, benar-benar malam. Sekarang jam 10, dan aku bahkan belum mulai belajar. Bagus... bagus sekali. Aku malah duduk di depan kompi tercinta, menulis blog dengan alasan rutinitas.
Aku nggak takut mengantuk atau apa, karena tadi aku minum satu mug vanilla latte, trik yang lebih bagus untuk membuat mata tetap melek, dibanding mengganjal kelopak mata dengan korek api.
Haaah... padahal demi ulangan sejarah menyebalkan ini aku rela menahan hasrat ingin membaca lanjutan Bleach... Harusnya aku tahu bahwa Bleach dan ulangan nggak memiliki korelasi khusus, mengingat ada ataupun tidak benda itu, aku tetap males belajar.
Omong-omong, tadi siang aku sempat baca novelnya Dahlan Iskandar: Ganti Hati. Bagus, ditulis dalam bentuk jurnal (atau apapun itu) yang meski nggak begitu runut, tetapi sangat menarik. Belum selesai dibaca sih, abis musti rebutan dulu sama Mama. Mama baca lelet banget, udah tiga hari masih belasan halaman. Aku sudah menghabiskan kira-kira setengah buku dalam interval waktu baca dari pulang sekolah sampai pergi les fisika Bu Astin.
Omong-omong lagi, kemaren aku juga nyelesein baca satu novel metropop berjudul C`est la Vie karangan Fanny Hartanti. Lumayan bagus, hanya saja nggak begitu membekas di hati. Entah apa sebabnya, mungkin karena gaya penulisannya yang nggak sesuai seleraku, atau yang lain. Tapi aku memang suka ceritanya (di luar gaya penulisan tadi) ringan tapi cukup berbobot. Aku jadi terinspirasi untuk menulis novelku sendiri.
Mm, sebenarnya udah lama sih, aku menulis novel, dan cukup banyak. Hanya saja novel yang kutulis itu rata-rata nggak layak baca, karena, yah, tau sendirilah, aku kan nggak begitu berbakat. Tapi aku cukup yakin dengan novelku yang terakhir.
Ceritanya tentang--
Mm, nggak jadi cerita deh. Sampai saat ini, yang tau tentang cerita ini cuma Echa, itupun nggak detail. Biar aku jadiin rahasia dulu deh, jadi kalau misalnya hasilnya bagus, kan bisa bikin surprise.
Oke, sekian dulu deh, musti belajar biar nggak remidi lagi!
Tak lupa ditemani Pocky strawberry yang baru kubeli tadi (pamer).

Sunday, April 13, 2008

Crunchy Crackers

Hmm, kedengarannya enak yah, renyah, kriuk-kriuk dalem mulut. Tapi ini enggak, sungguh. Biar aku ceritakan. (Peringatan: Cerita ini bakal garing, sangat garing malah, bagi yang sedang sibuk diharapkan tidak membacanya karena akan benar-benar menyesali lima menit yang bakal terbuang karena membaca tulisan ini).

Hari Sabtu kemaren Asutarin bilang kalo hari ini ada acara ultah-nya Laila (temen akrab Asutarin), dan Laila minta dia untuk ngundang temen-temen si Arin yang ia kenal buat datang juga. Lalu tersebutlah namaku, Arta dan Arlia. Mm, pertamanya aku berpikir, 'Ya ampun, aku kan nggak akrab-akrab banget sama Laila. Gimana kalo aku datang, tapi malah jadi kayak tamu ga diundang?'. Tapi Arin meyakinkanku untuk datang, dan kupikir, yah, setidaknya kan ada dia. Lalu dengan yakin aku memutuskan untuk datang.
Karena Arin dari pagi ada di rumah Ovi buat nonton hanakimi (sebenarnya aku juga diajak, sih, tapi mengingat betapa kamarku begitu berantakan dan betapa mama bakal menyuruhku rodi untuk membersihkannya, dengan berat hati aku menolak tawaran itu), jadi kita janjian buat ketemu di rumah Ovi. Sesampainya di rumah Ovi, aku langsung ngajak Arin cabut ke warnet, nyari tugas TIK. Tapi Asutarin bilang dia mo pulang ke rumah dulu, mo mandi sama ganti baju. Ya udah, aku nunggu deh di rumah Ovi, bersyukur, akhirnya bisa juga nonton hanakimi (dan menonton adegan Nakatsu dengan monolog sensasionalnya: '.... kanke ne!').
Waktu berlalu, aku menikmati nonton hanakimi dengan menatap Nakatsu menggebu-gebu, tetapi Asutarin tak kunjung datang. Aku bahkan sempat menyiksa Ovi dan Arta karena Nakatsu alias Toma alias MyLove begitu lucu dan terlihat sangat tampan, tetapi Arin tetap belum datang. Aku nggak begitu kalut, karena seperti yang kukatakan sebelumnya, aku menikmati --sangat menikmati-- menonton hanakimi.
Asutarin datang jam setengah empat, dan acara dimulai setelah ashar. Harusnya acara sudah mulai. Aku dan Asutarin pun dihadapkan pada dilema yang sangat memusingkan: harus memilih antara ke warnet, atau langsung ke rumah Laila. Ah, tambah satu lagi: belum beli kado.
Arin bilang, mendingan langsung ke rumah Laila aja, masalahnya, kalo kita ke warnet dulu, datangnya bakalan telat, mana nggak bawa kado lagi. Jadi berangkatlah kami ke TKP.
Sampai di sana, DOOONG, yang datang baru dikit. Kami berpandangan, sebisa mungkin menahan tawa. "Tau gini, kita ke warnet dulu aja," ucap Asutarin. Aku mengangguk, grogi. Seperti yang kubilang, aku merasa garing. Lalu temen-temen lama Laila berdatangan. Arin yang cukup akrab dengan mereka langsung ikut menyambut. Lha aku? Kenal juga enggak. Cuma sekedar tau nama mereka. Dan, ya ampun, mungkin mereka bahkan nggak tau namaku.
Arin yang simpatik lalu menemaniku yang berada dalam jurang kegaringan; ikutan garing. Kami kemudian membicarakan kami yang datang dengan tangan hampa.
"Nggak kok," bela Asutarin, "liat aja yang lain, nggak ada juga yang bawa kado."
"Hehe, iya juga."
Kami pun membicarakan hal-hal lain, misalnya betapa penahan jendela rumah Laila menyodok rusukku. Ati datang, dan aku menguping pembicarannya dengan Asutarin.
"Di kelas ada sekitar 5 sampe 7 cewek yang suka sama dia,"jelas Ati.
Kuis: Siapakah yang mereka bicarakan?
Ting-tong! Jawabannya: Adik pertama Asutarin, Tito.
Beberapa saat kembali garing. Lalu Arin menyodok rusukku, sambil menahan tawa.
"Bppph... Coba liat tas Ambar (temen lama Laila yang tadi datang)."
Aku menoleh dan melihat... ada sesuatu yang terbungkus rapi dengan kertas manis bergambar warna-warni. Kado.
"Jangan-jangan, itulah fungsi mereka bawa tas," ujarku sambil memandang teman-teman Laila dan tasnya. "Buat bawa kado."

Saturday, April 12, 2008

Benkyo Shimasho!*

Siapa sih yang nggak pengen pintar? Kurasa semua orang ingin jadi seseorang yang pintar, yang dikagumi. Banyak alasan untuk itu. Untuk membanggakan ortu, meraih mimpi, menarik perhatian gebetan atau pacar, mengalahkan seseorang, untuk bertahan hidup, bahkan untuk mengejar Toma Ikuta ke Jepang (mm, personal reason).
Sayangnya nggak semua orang dilahirkan dengan kemampuan sekali dengar atau lihat langsung paham dan mengingat semuanya. Ada orang yang berusaha semalam suntuk buat belajar tetap nggak bisa mengalahkan si jenius yang cuma belajar satu jam. Ada juga orang yang punya kemampuan untuk menjadi pintar, tetapi nggak memanfaatkannya dan membiarkan kemampuannya berdebu. Tetapi yang paling kukagumi adalah seseorang yang kemampuan otaknya biasa-biasa saja, tetapi mampu mengalahkan si jenius karena keuletannya.
Aku nggak tau aku masuk tipe yang mana, tapi yang pasti aku nggak mungkin termasuk tipe jenius. Mungkin aku masuk ke tipe "udah bego, males lagi".
Ya, aku juga pengen mencicipi manisnya rasa menjadi seseorang yang pintar, dikagumi, dan disanjung-sanjung karena aktivitas sel-sel kelabuku. Hanya saja, kemampuan otakku sudah menurun jauh dibandingkan dulu, yang mungkin disebabkan karena terlalu banyaknya kandungan MSG dan pengawet buatan serta bahan-bahan kimia lain yang terdapat pada asupan makanan yang kukonsumsi.
Dakara, satu-satunya cara mengembalikan fungsi kerja otak kiriku adalah belajar lebih banyak dari biasa. Duh, bukannya biasanya aku belajar banyak ya, malah aku bisa dikatakan nggak belajar sama sekali. Mm, sebenarnya nggak sama sekali, sih, hanya saja, ya ampun, tebak berapa lama waktu belajar yang kuperlukan sebelum ulangan: di bawah dua jam. Lima belas menit bahkan, untuk biologi. Ya, bagus sekali. Tak heran aku remidi.
Rencanaku adalah belajar secara rutin. Kupikir ini rencana sempurna, kalau saja aku orang yang rajin dan konsisten. Sayangnya aku tidak.
Darimana aku mendapatkan ide ini? Hmm, biar kukutip kata-kata Calvin Coolidge yang terdapat di novel teenlit Confeito:
"Tak ada yang bisa mengalahkan keuletan. Bakat juga tidak; orang berbakat yang tidak pernah sukses adalah hal yang lumrah. Kejeniusan juga tidak; orang pandai yang tidak memperoleh apa-apa sudah nyaris menjadi kata-kata mutiara. Pendidikan juga tidak; dunia sudah penuh dengan penganggur berpendidikan. Keuletan dan keteguhanlah yang paling berkuasa. Slogan 'jangan menyerah' telah dan selalu memecahkan masalah yang dihadapi manusia."
See? Mengalahkan rasa malasku adalah langkah pertama. Selanjutnya aku akan belajar dan terus belajar. Tidak percaya aku akan berhasil? Aku juga tidak. Tapi kita lihat saja.
Berhasil atau tidak itu urusan nanti. Coba saja dulu.


*mari belajar!

Thursday, April 10, 2008

Puisi Cinta Untuk Toma

Hm... Bukannya aku tiba-tiba jadi sok romantis gara-gara lagi jatuh cinta, tapi puisi cinta ini kubuat sekedar untuk memenuhi nilai latihan bahasa inggris.
Ceritanya materi lesson kali ini tentang expression of love, jadinya Mam Mimi minta kami ngebuat sebuah surat atau puisi cinta, terserah mau ditujuin buat siapa aja.
Aku mengeluh, betapa tugas ini sangat nggak sesuai buatku. Suruhlah aku buat fiksi tentang apa atau apa, asal jangan puisi, tolong. Tapi siapa yang mau nilainya nol? Akhirnya aku beranjak dari kegusaran dan memulai membuat puisi cinta pertamaku, yang, ditulis dalam bahasa inggris. Ampun, deh, aku kan orang Indonesia.
Lima menit pertama tanpa inspirasi. Aku cuma menulis dua bait sampah yang super ultra nggak bermutu.
Aku mendedikasikan puisiku ini untuk Toma Ikuta-kun yang tercinta, sehingga kata-kata pun akhirnya mengalir dengan tidak indah; yah, minimal aku berhasil menulis sesuatu.

Mungkin bagi siapapun yang membaca puisiku nanti akan berpikir bahwa apa yang kutulis itu hanya sekedar sampah kecil yang tidak ada harganya, tapi jangan salah. Biarpun puisi itu memang sampah, tetapi setidaknya itu merupakan kata-kata yang kurangkai yang khusus kutulis untuk Toma tersayang. Meski yah, rasanya puisi sesampah itu agak tidak pantas untuk Toma yang begitu berkilau.

Sebenarnya aku ingin menuliskan puisi itu sekarang, tetapi sayang sekali, aku sudah lupa kata-katanya (padahal baru ditulis tadi pagi). Menyesal rasanya nggak buat pertinggalan dulu (ngikutin istilahnya Mrs. Umbridge).

Di luar konteks puisi cinta, barusan aku selese baca novel metropop berjudul Autumn in Paris karangan Ilana Tan. Temen-temen pada bilang bagus, termasuk Asutarin saat menyerahkan novel ini padaku tadi siang di sekul.
"Ceritanya sedih, bagus banget." Begitulah kira-kira kata temen-temen.
Dan ternyata... emang bagus.
Aku suka cerita seperti ini. Cerita yang nggak happy ending, cerita yang menusuk kisi hati.
Aku paling suka e-mail Tatsuya di bagian akhir:
'Selama dia bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.'

Wednesday, April 09, 2008

Benci=Cinta?

Pernah punya orang yang dibenci?
Rasanya semua hal yang dilakukan orang yang kita benci itu selalu buruk, salah, pokoknya sampah deh. Apapun yang dikatakannya membuat kita membuang muka. Kalau dia ikut tertawa bersama kita, maka kita akan berhenti tertawa. Waktu dia menyukai lagu kesukaan kita, kita jadi nggak suka lagu itu lagi. Saat dia menjawab pertanyaan guru, kita bilang banyak lagak dan sok tahu. Misalnya dia nggak tahu tentang sesuatu hal, maka kita bilang dia nggak berwawasan luas.
Dan yang paling utama: saat ia berada di dekat kita, sebisa mungkin kita mencari alasan untuk menjauh darinya.
Um, kayaknya agak subjektif yah, yang kutulis di atas. Mungkin karena,ya, saat ini aku sedang membenci seseorang.
Dan jangan salah, yang benci sama orang itu bukan aku seorang, melainkan hampir seluruh siswa di kelasku. Ha. Coba bayangkan.
Ada yang bilang kalau kita terlalu benci dengan seseorang, maka lama-lama kelamaan tanpa kita sadari kita akan mencintai orang itu.
Mmm, benarkah? Bagiku: nonsense.
Ya ampun, yang namanya benci ya benci. Cinta ya cinta. Benci dan cinta adalah dua hal yang sangat berbeda.
Yah, kadang aku sedikit (sekali lagi, SEDIKIT) merasa kasihan kepada si dia yang dibenci ini, karena teman-teman menjauhinya (well, termasuk aku) dan membuat organisasi khusus yang dibentuk untuk menggalang kekuatan antara orang-orang yang tidak menyukai dirinya.
Mungkin terdengar berlebihan, tetapi itulah yang terjadi.
Tapi apa yang terjadi pada dirinya? Dia bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. TIDAK ADA APA-APA!
Maksudku, aduh, orang bodoh pun mungkin akan sadar kalau dia tidak disukai jika saat ia berteriak "tunggu!" orang yang dia minta tunggu malah berlari sekencang-kencangnya. Kenyataannya, dia pintar. Tetapi dia tidak sadar. Mm, apa pantas dia disebut bodoh?
Kami membencinya bukannya tanpa alasan. Hanya saja saat kami menyadari bahwa kami membencinya, alasan untuk membencinya terus menerus bertambah banyak seperti cendawan di musim hujan.
Selanjutnya... wah, aku nggak bisa membayangkan bagaimana problematika ini akan berlanjutan di kelasku tercinta.
Akankah dia menyadari kenyataan yang sebenarnya?
Ataukah ia akan bertahan dalam lumpur ketidaktahuan?
Entahlah. Tapi mungkin dalam minggu-minggu ini, semuanya akan terungkap.